GENCARNEWS.COM, SUNGAI PENUH – Peristiwa Kudatuli, atau Kerusuhan 27 Juli 1996, bukan sekadar catatan kelam dalam sejarah politik Indonesia. Ia adalah luka terbuka yang menjadi saksi bagaimana demokrasi pernah diinjak, suara rakyat dibungkam, dan perjuangan hak-hak sipil ditindas secara brutal. Namun dari luka itu pula, lahir semangat perlawanan, keberanian, dan keteguhan yang kini menjadi fondasi perjuangan PDI Perjuangan.
Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Sungai Penuh yang juga Wakil Ketua DPRD Kota Sungai Penuh, Hardizal, mengajak seluruh kader dan simpatisan untuk menundukkan kepala, merenungi kembali makna perjuangan yang mengakar dari tragedi tersebut.
“Peristiwa Kudatuli bukan sekadar penyerangan fisik terhadap kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta. Itu adalah bentuk penghinaan terhadap demokrasi, hukum, dan nilai-nilai kemanusiaan,” tegas Hardizal dalam pernyataannya, Minggu (27/7).
Ia menyebut, Kudatuli adalah simbol perlawanan terhadap rezim otoriter yang menolak suara rakyat. “Kita tidak boleh melupakan bahwa saat itu, yang dilukai bukan hanya partai, tapi semangat reformasi yang sedang tumbuh di dada rakyat Indonesia,” ujarnya.
Seperti diketahui, tragedi berdarah tersebut dipicu oleh konflik dualisme kepemimpinan di tubuh PDI antara kubu Megawati Soekarnoputri dan Suryadi. Dengan dukungan rezim penguasa saat itu, kantor DPP PDI kubu Megawati diserbu secara brutal, menewaskan sedikitnya lima orang, melukai 149 orang, dan menyebabkan 23 orang hilang, sebagaimana diungkap dalam laporan Komnas HAM pada 12 Oktober 1996.
Namun, di tengah trauma masa lalu, PDI Perjuangan tetap memilih jalan peradaban. “Kami tidak membalas luka itu dengan dendam. Kami memilih untuk membangun bangsa ini dengan semangat gotong royong dan keyakinan bahwa demokrasi harus dijaga, bukan dibalas dengan kekerasan,” ungkap Hardizal.
Ia pun menyerukan kepada seluruh kader “Banteng” di Kota Sungai Penuh untuk terus merapatkan barisan, memperkuat konsolidasi, dan menjaga semangat demokrasi agar tetap berada di rel konstitusional.
“Perjuangan kita belum selesai. Mari kita terus kobarkan semangat Tri Sakti Bung Karno: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Itulah bekal kita menjaga Indonesia yang lebih adil, berdaulat, dan bermartabat,” pungkasnya penuh semangat.