GENCARNEWS.COM, SAROLANGUN – Dunia pendidikan di Kecamatan Pauh kembali tercoreng. Di balik semangat mencerdaskan generasi bangsa, justru tersimpan kisah memilukan dari SMP Negeri 7 Sarolangun. Dugaan adanya perlindungan dari “bekingan” terhadap kepala sekolah setempat membuat pengawasan dan pembinaan menjadi lumpuh. Situasi ini menyeret institusi pendidikan ke pusaran polemik dan kecurigaan.
Koordinator Wilayah (Korwil) Pendidikan Kecamatan Pauh, Fahzan, akhirnya angkat bicara. Dengan nada kecewa, ia menyampaikan bahwa kepala sekolah SMPN 7 Sarolangun selama ini sulit disentuh oleh sistem pengawasan internal karena diduga kuat berada di bawah bayang-bayang perlindungan dari oknum berkekuatan besar.
“Dio tu dari dulu memang ado bekingan. Kalo soal biaya seragam, sayo dak pernah dilibatkan. Di SD dan SMP dak sayo diajak, tapi anehnya di tempat lain seperti Slangun, SMA malah sayo ikut dilibatkan,” ujar Fahzan dengan nada getir.
Pernyataan itu seakan menjadi kunci pembuka atas serangkaian persoalan yang selama ini disimpan rapat di balik tembok sekolah. Sejumlah dugaan pungutan liar hingga pelanggaran dalam tata kelola sekolah telah lama menjadi pembicaraan di kalangan internal, bahkan diduga telah sampai ke telinga Dinas Pendidikan Kabupaten Sarolangun. Namun hingga kini, belum tampak adanya langkah tegas yang diambil.
Lebih mengejutkan lagi, sejak isu ini mencuat ke publik, awak media justru menerima beberapa panggilan WhatsApp dari seseorang yang mengaku sebagai ajudan pribadi Bupati Sarolangun. Komunikasi yang dilakukan berulang kali ini mengarah pada upaya membungkam media agar tidak terus mengangkat persoalan SMPN 7 Sarolangun.
Media ini mempertanyakan: apakah ini bentuk intervensi terhadap kebebasan pers dan upaya pembungkaman terhadap informasi publik? Bila benar ajudan Bupati ikut turun tangan, maka benarkah ada kekuatan besar yang sengaja menjaga dan melindungi kepala sekolah tersebut?
Siapa sebenarnya “bekingan” yang dimaksud? Mengapa para pejabat pendidikan seakan tak berdaya? Apakah sistem pengawasan birokrasi telah sepenuhnya dilemahkan oleh pengaruh kuasa?
Fenomena ini mencerminkan bagaimana sistem pendidikan dapat menjadi korban dari permainan kekuasaan. Ketika ruang untuk menegakkan aturan mulai disesaki oleh kepentingan, maka yang paling dirugikan adalah masyarakat — khususnya para orang tua dan siswa yang menginginkan pendidikan yang bersih, jujur, dan bermartabat.
Kondisi ini membuat dunia pendidikan di Pauh seolah-olah menjadi taman yang dibiarkan layu. Bukan karena tak ada air, tetapi karena tangan-tangan yang seharusnya merawat, memilih diam atau malah ikut merusaknya.