GENCARNEWS.COM, SOROLANGUN - Di tengah hamparan sawah yang menunggu hujan dan harapan, muncul bayang gelap: seorang anggota dewan kabupaten sarolangun jambi berinisial A kini berada di ujung sorotan keras publik. Ia diduga memainkan permainan licin dalam distribusi pupuk bersubsidi, ia diduga menjualnya kepada orang-orang kaya dengan luas lahan jauh di atas batas yang diperbolehkan.
Menurut laporan masyarakat dan pengadu lapangan, pupuk bersubsidi yang seharusnya menjadi nafas petani kecil justru dialihkan ke pihak yang punya modal besar. Pembeli tersebut rata-rata memiliki lahan lebih dari 2 hektar, padahal ketentuan menyebut bahwa pupuk subsidi hanya boleh ditebus oleh kelompok tani yang sudah teregistrasi, telah mengisi e-RDKK, dan tidak memilik lahan lebih dari 2 hektar.
Tidak cukup sampai di situ: harga jual yang diduga diterapkan oleh A jauh melampaui kewajaran. Pupuk jenis Urea dan NPK Phonska yang semestinya ditebus di dengan harga Rp 2.250 per kg atau Rp. 112.500 per karung ( urea ), dan Rp. 2.300 atau Rp. 115.000 per karung ( Phonska ) menurut info lapangan justru dijual di kisaran Rp 240.000–Rp 270.000 per karung kepada pembeli tertentu.
Bila angka-angka ini akurat, maka selisihnya tajam bak jurang yang memisahkan keadilan dan eksploitasi.
Lebih miris lagi, sang anggota dewan diduga tidak cukup mengalihkan subsidi ke tangan orang kaya, tetapi juga menggunakan pupuk murah ini untuk keperluan pribadi, A memiliki lahan sawit yang tergolong luas. Sebuah ironi memang, bila yang seharusnya membela petani, justru memanen keuntungan dari bibit ketidakadilan.
Upaya konfirmasi ke A telah dilakukan. Namun dalam hal isu pupuk subsidi, ia memilih bungkam. Ia enggan berkomentar secara terbuka ketika ditanya apakah benar dia adalah aktor utama dalam skema penyaluran pupuk bersubsidi itu. Berbeda hal responya terkait isu lain ( tidak terkait pupuk subsidi ) A rupanya bersedia memberi penjelasan. Namun, keheningan terhadap tuduhan pupuk menegaskan dugaan publik bahwa ini bukan perkara ringan.
Catatan Perbandingan: Bukan Kasus Pertama
Kasus diduga penyimpangan pupuk subsidi dengan harga di atas HET dan penyaluran tak sesuai sasaran bukanlah cerita tunggal. Beberapa contoh nasional menunjukkan pola serupa: Di Nusa Tenggara Barat, Kejati NTB tengah menyelidiki dugaan penyimpangan penyaluran pupuk subsidi tahun anggaran 2023–2024.
Di Kabupaten Madura, kasus penjualan pupuk subsidi di atas HET memicu desakan agar pengecer nakal ditindak hukum.
Di Bojonegoro, seorang tersangka diamankan karena menjual pupuk subsidi dengan selisih harga Rp 50.000–70.000 dari HET, yang menimbulkan kerugian negara puluhan juta rupiah.
Kasus-kasus ini membentuk latar bahwa dugaan yang menimpa A berada dalam konteks problem distribusi subsidi yang sistemik dan sudah bergulir di berbagai daerah.
Jika tuduhan terhadap A terbukti benar, konsekuensi hukumnya bisa sangat berat: pelanggaran aturan penyaluran pupuk bersubsidi, manipulasi data penerima, hingga penyalahgunaan subsidi untuk tujuan pribadi. Regulasi pun sudah menetapkan sanksi bagi distributor atau pengecer yang melanggar HET maupun mekanisme penyaluran.
Seperti yang ditegaskan dalam Permentan dan regulasi pengawasan pupuk bersubsidi, penyaluran harus tepat sasaran dan harga harus sesuai ketentuan.
Publik pun menuntut: Pengusutan menyeluruh oleh penegak hukum, pengumpulan bukti, audit jalur distribusi.
Transparansi data e-RDKK dan penerima pupuk subsidi agar masyarakat dan petani bisa memantau. Penindakan tegas terhadap siapa pun termasuk pejabat yang terbukti memanfaatkan kewenangan untuk memperkaya diri.
Di balik debu sawah dan doa petani, kasus ini menjadi ujian sejati bagi keadilan agraria apakah subsidi menjadi pelita bagi petani kecil, atau malah cahaya fatamorgana yang dipelintir menjadi tajam bagi kemakmuran segelintir orang. (CCP)